GARIS WAKTU:
Menyayangimu adalah soal keikhlasan.
Oleh: fiersa besari
Aku ingat pertama kali melihatmu. Kau masuk ke
dalam hidupku tanpa permisi, berputar bagai gasing di dalam pikiranku. Entah
kau milik siapa, hatiku keras kepala.
Ceritakanlah
tentang harimu. Berbincanglah sampai salah satu kita tertidur. Aku tidak akan
bosan dengan semua yang kau ketik. Betapa sering aku menduga duga, adakah kode
yang tersirat dalam kolom chat kita?
Aku
tidak mau berdrama, tapi aku tidak bisa mengeluarkanmu dari kepala. Aku tergila
gila hingga tak tahu lagi mesti berbuat apa. Ini semacam hasrat purba yang
lebih tua dari manusia.
Jika
kau percaya akan “jodoh”, mungkin ini adalah contohnya. Dan aku tidak berbicara
perihal parasmu, atau apa yang kau punya. Ada sesuatu tentangmu yang membuatku
merasa baik baik saja, entah apa.
Kau
selalu mampu membuatku jujur mengenai segala hal kecuali satu: perasaanku.
Andai saja aku mampu memberitahumu. Tapi, aku terlalu takut akan reaksimu yang
tidak sesuai dengan imajinasiku selama ini.
Bukankah
fiksi lebih meninabobokan dibandingkan kenyataan? Bukankah kita adalah dua
orang yang terlanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan?
Tubuh
kita berlumur harapan palsu. Tanganku menggapai-gapai mencari jalan keluar,
sementara tanganmu mencegahku ke mana-mana.
Tunggu
sebentar. Izinkan akau keluar dari zona pertemanan kita untuk sejenak. Akan
kutunjukan padamu sebuah gerbang menuju dunia paralel. Mari, ikut akau ke sana.
Di dunia paralel, aku tidak perlu lagi repot-repot menyatakan apa pun.
Kau
akan setuju untuk bersanding denganku tanpa perlu ada serentetan peristiwa yang
membuat kita semakin pelik. Aku akan menjadi bumi untuk mentarimu, lirik untuk
lagumu, hujan untuk bungamu.
Di
dunia paralel, keadaannya akan jauh berbeda walau begitu, kau tahu aku akan
tetap menjadi orang yang sama, yang merindukanmu dengan sederhana, mengejarmu
dengan wajar, menyayangimu dengan luar biasa dan menyakitimu dengan mustahil.
Apakah
tangis masih menghiasi pelupuk matamu? Apakah lara masih menaungi keseharianmu?
Aku harap kau belajar lagi berbahagia.
Jangan
khawatir mengenai kabarku, aku masih mencoba untuk baik baik saja. Memamerkan
senyum palsu, untuk seorang badut sepertiku, adalah hal biasa.
Mana
berani aku menjatuhkan hati di sebelahmu? Aku, yang hanya bertugas menghibur
negeri dongeng ini, sudah cukup bersyukur dengan apa yang kita punya. Meski
hanya sejenak sebelum akhirnya sesosok sempurna dengan kuda putihnya membawamu
pergi lagi dan lagi.
Betapa
kau riang setiap kali aku menghiburmu dengan hidung tomat dan wajah bercat
putihku. Tawamu lepas, mata cokelatmu berbinar. Ah sial!! Beruntung sekali
dirinya bisa sewaktu waktu menatap mata yang seakan tercipta untuknya itu.
Ketidaktegasan
adalah sesuatu yang ada diantara kau dan aku. Kurang ajarkah jika hatiku berharap
lebih setiap kali kau menyandarkan kepala lelahmu di bahuku?
Kau
memang mahir menuang harapan di hatiku. Menaruh harapan padamu seakan
menggemgam duri duri di batang mawar, membuatku berdarah. Tapi aku tak kunjung
pergi.
Bak
orang dungu, aku bisikkan lagi kata kata rindu, menitipkannya di ketiak malam,
sebelum rindu itu terlampir pagi hari di depan pintu kamarmu.
Kau
tersipu, membalas rinduku dengan senyuma. Ya, sebatas senyuman. Aku tidak
pernah tahu dimana sebenar benarnya perasaanmu bermukim.
Menyayangimuadalah soal keikhlasan. Bukan
keikhlasan untuk terus menerus diberi harapan semu, melainkan keikhlasan untuk
menyadari bahwa memang seharusnya kau berhak bahagia.urusan apakah aku yang
membuatmu bahagia atau bukan, itu tak jadi soal.
Aku
harap kau hari ini kau baik baik saja. Aku harap kau mengerti arti diamku.
Jangan risau. Aku sudah dan akan selalu bisa berpura-pura tersenyum.
Tugasku
menghibur dunia, tidak kurang dan tidak lebih. Aku hanya sedikit kecewa, kau
tidak bisa menjadi seseorang yang membuat seorang badut sepertiku tersenyum
seungguhan.
Kudengar
seseorang berhasil menghancurkan hatimu.hampir saja aku- yang terbiasa bertepuk
sebelah tangan ini—bertepuk tangan sambil memuji-muji karma. Tapi mana mungkin
aku tega melihatmu berduka? Orang bodoh macam apa yang membiarkanmu terluka?
Kau
yang kuyakin tercipta saat tuhan sedang gembira, sebenar-benarnya pantas
mendapatkan yang terbaik. Atau, jika tidak, izinkanlah aku mencoba memberikan
yang terbaik.
Kau
menangis deras. Katamu, ia pergi meninggalkanmu kedinginan di ujung bumi.
Bahkan di saat seperti ini, kau masih berusaha tegar. Kita sama. Entah terlalu
pintar menyembunyikan perasaan, atau terlalu bodoh untuk menyatakannya.
Sudahlah.....
sesekali tak apa menjadi manusia biasa. Wajar untuk terluka, untuk membutuhkan
tempat bersandar, untuk tidak baik baik saja. Bahkan orang terkuat di muka bumi
pernah berkabung.
Sembuh
itu butuh waktu, bukan paksaan. Saat semua tidak berjalan semestinya, kita bisa
mengangkat tangan untuk menyerah atau mengangkat tangan untuk berdoa. Kuharap
kau memilih yang kedua.
Ayolah, hentika isakanmu. Apa harus
memprioritaskan orang yang hanya menjadikanmu pilihan? Kau bukan pilihan ganda,
dia bukan jawaban, dan hidup kalian bukan kertas ujian.
Bukan
rejeki dia, tapi rejekimu untuk kelak dapat seseorang yang bisa
memprioritaskanmu. Yang tidak punya hati jangan dimasukkan dalam hati. Yang
tidak punya perasaan jangan di bawa perasaan. Yang main-main tidak perlu
dianggap serius.
Kalau
kau sedang rapuh, simpan sejenak hatimu. Biarkan proses dalam waktu
menyembuhkan. Perasaan memang tidak bisa diburu-buru. Tapi juga jangan berlama
lama meratapi seseorang yang tidak bisa menghargaimu.
Dekatkan
dirimu pada orang orang yang membuatmu bahagia. Merekalah yang harus kau jaga
yang lainnya hanya menumpang lewat. Jadi, sebelum menoleh lagi ke belakang,
pastikan kau lihat seseorang yang menantimu di depan.
Mengenang
masa lalu bukan berarti harus mengulang. Kalau dia tidak bisa menghargai
kesempatan baik yang kau beri, beri dirimu sendiri kesempatan untuk mendapatkan
kisah yang lebih baik. Karena yang benar benar peduli akan menghentikan air
matamu jatuh, bukan membuat air matamu jatuh.
Ketahuilah,
beberapa tangan melepaskan genggamannya saat hidupmu bertambah sulit agar
tanganmu kosong dan bisa di genggam oleh seseorang yang takkan pernah
melepaskanmu.
Aku
selalu menganggap, rela menunggu seseorang itu tidak berarti bodoh, itu hanya
berarti teguh pendirian. Karena sekuat apapun kita menyangkal sesuatu yang
dikatakan oleh hati, sekuat itu pula hati akan berusaha mendesak.
Mungkin
karena itulah aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, meski dengan biadabnya
kau bertingkah seolah aku adalah buku harian yang Cuma kau isi dengan keluh
kesahmu tanpa perlu kau tanyakan bagaimana perasaanku.
Kemudian,
kau mencari penghilang rasa sakit untuk meredakan hari-harimu yang suram. Aku
pun dengan sukarela menjadi pemeran pengganti untuk meredakan malam-malammu
yang muram.
Aku
yang mendengarkanmu hingga jam satu pagi, adalah aku yang kau nafikan lagi dan
lagi. Kau yang masih tenggelam dalam kenangan adalah apa yang ingin
kuselematkan.
Celakanya,
aku malah ikut terbenam dalam skenario yang kau ciptakan. Dan kita menjadi
terbiasa untuk pura pura tertawa. Padahal kau dan aku tahu, aku mendambakanmu
yang mendambakannya.
Sampai
kapan kita harus begini? Sampai nyaliku terkumpul untuk kau empaskan? Atau
sampai kau terbang lagi menuju pelukan yang lainnya?
Ternyata,
menjadi juara kedua itu sama saja dengan berpacaran dengan seseorang yang tidak
pernah ada secara nyata. Kalau kau benar-benar menyayangiku, kau takkan
menjadikanku juara ke dua dari sejak awal. Menyebalkan!
Aku
ingin kau rindukan, aku ingin kau kejar, aku ingin kau buatkan puisi. Lalu aku
akan bertingkah tak peduli, agar kau tau rasanya jadi aku.
Sekian
dan terimakasih telah membaca
sumber: https://www.youtube.com/watch?v=fQje9D-o3eo